March 31, 2007

Sang Greget

Jangan katakan bahwa Dia besar, dahsyat, berkuasa, selalu kuat. Lihat... sekali lagi... lihat. Langkahnya gontai, mataNya nanar. Lebih banyak Ia memandang kebawah, lelah otot bahuNya, tak lagi Ia mampu menegakkan kepalaNya memandang Golgota. Jika Getsemani hanya mampu memeras keringatNya seperti butiran darah, maka Via Dolorosa menguras darahNya bagaikan keringat yang mengucur. Siapakah yang peduli, siapakah yang masih berani menyapa, “Guru!; Rabi!; Mesias!”? Semua bibir terkatub, semua mata tertutup, pengikutNya memilih hening, menyaksikan drama kolosal nyata dari kejauhan. Dengar! Kalian dengar! Yah, tidak salah, itu adalah suara tangisan wanita. Mereka datang dari Yerusalem, bersedu-sedan entah karena pribadi Yesusnya atau semata karena tragis penderitaanNya yang membuat ngilu di dada. Yesus menoleh, dengan terbata meminta agar mereka menangisi kemalangan mereka beserta dengan keturunan mereka sendiri. Sindirankah ini? Atau sebuah peringatan akan datangnya sejarah hitam di kemudian hari?

Duhai hati, engkau mampu membuat rekonstruksi. Dengan segala detil menjabarkan peristiwa tragis itu lalu membawa haru dalam diri. Duhai pengertian, engkau mampu memberi arti. Menggali, mengembangkan, menafsirkan, lalu menarik kesimpulan-kesimpulan yang dikemas dalam statement indah, mulia, penuh kata-kata asing yang susah. Tetapi, ... duhai inti jati diri, dimana gregetmu? Greget yang bukan saja dapat membuat mata menangis, tetapi juga merasa apa yang Dia rasa, mencari apa yang Dia cari, berlari kemana Dia pergi.

Ini ... ini, pegang dia... tangkap... jangan biarkan lari. Dudukkan dia, ikat tangannya, buka paksa mata dan telinganya. Agar dia, si inti jati diri, memandang tak berkedip, mendengar tak tersisip, terpaku pada pemandangan dan berita dari Salib. Agar dia dapat menangis, yah... menangis bersama wanita-wanita Yerusalem itu. Bukan menangisi matinya Yesus, tetapi menangisi matinya sang greget; greget untuk mengerti Yesus, greget untuk mencari Yesus, greget untuk mengikut Yesus, dan greget untuk melayani dan hidup bagi Yesus.

Tetapi jangan berhenti disana - kadang si inti jati diri malas, terbius dengan pengharapan palsu atau pengetahuan ragu - bawa dia, jika perlu seret dia, agar jangan berlama-lama terpukau pada Golgota, menyaksikan Yesus meregang nyawa. Tegakkan dia di muka kubur itu. Putar ulang pertunjukan sejarah besar: Yesus menguak tabir kematian, berjalan keluar dalam cahaya hidup kebangkitan. Sampai bibirnya bergumam, mulai dari seruan kecil hingga teriakan besar, “ hidup!, ...hidup!, ...hidup!, ...hidup!, ...Hidup! ... Gregetku hidup kembali, bersama Yesus yang hidup!”


Oleh Pdt. Hengkie Tjahjadi

No comments: